Pembebasan 1.178 Napi Dimulai di Masa Awal Presiden Prabowo
Pembebasan 1.178 Napi Dimulai di Masa Awal Presiden Prabowo |
Di minggu-minggu awal masa kepemimpinannya, Presiden Prabowo Subianto mencatat langkah penting dalam reformasi sistem peradilan dan pemasyarakatan Indonesia. Sebanyak 1.178 narapidana resmi dibebaskan melalui kebijakan pembebasan bersyarat dan integrasi sosial tahap awal, sebagai bagian dari program "Reintegrasi Keadilan Nasional".
Program ini mendapat perhatian luas publik karena menjadi langkah simbolis dan substantif pemerintahan baru dalam membenahi kepadatan lapas dan pendekatan terhadap keadilan yang lebih berorientasi pemulihan (restoratif).
Fokus pada Narapidana Kasus Ringan dan Sosial
Kementerian Hukum dan HAM menyebut bahwa mayoritas narapidana yang dibebaskan berasal dari kasus-kasus pidana ringan, termasuk pelanggaran ringan terkait narkotika non-distributor, pencurian kecil, serta pelanggaran administratif.
“Ini bukan pengampunan massal tanpa dasar. Mereka yang dibebaskan telah melalui proses penilaian ketat dan memenuhi syarat pembinaan, berkelakuan baik, dan layak untuk reintegrasi,” ujar Menkumham, Yusril Ihza Mahendra, dalam konferensi pers bersama Presiden.
Data menunjukkan bahwa sekitar 72% dari napi yang dibebaskan merupakan narapidana dengan masa tahanan kurang dari dua tahun yang sudah menjalani lebih dari separuh hukuman dan aktif dalam program pembinaan.
Kebijakan Restoratif dan Pengurangan Beban Lapas
Langkah ini sejalan dengan janji kampanye Prabowo-Gibran untuk mengurangi overcrowding di lembaga pemasyarakatan, yang hingga awal 2025 mencapai 203% dari kapasitas ideal secara nasional.
“Reformasi hukum bukan hanya soal menghukum, tapi juga memulihkan. Kami tidak ingin lapas penuh oleh rakyat kecil yang seharusnya bisa dibina dan kembali menjadi warga negara yang produktif,” ujar Presiden Prabowo dalam pidato singkat di Istana Merdeka.
Program ini juga akan dibarengi dengan peningkatan pengawasan pasca-pembebasan, termasuk pelibatan lembaga masyarakat, tokoh agama, dan sistem pelaporan digital untuk memastikan mantan napi benar-benar mendapat peluang kedua.
Respons Publik dan Tantangan
Respons masyarakat beragam. Banyak pihak mendukung, terutama aktivis hukum dan organisasi HAM, yang menilai ini sebagai langkah berani dan progresif.
“Ini bisa menjadi pintu masuk reformasi pemasyarakatan yang selama ini tersendat. Namun tentu harus diiringi dengan sistem pemantauan dan pendampingan yang kuat,” ujar Dr. Anita Santoso, pakar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada.
Namun, sebagian suara kritis muncul dari kalangan oposisi dan kelompok korban kejahatan, yang meminta agar pemerintah menjamin transparansi data napi yang dibebaskan dan memastikan mereka tidak kembali melakukan pelanggaran hukum.
Tahap Pertama dari Program Lebih Luas
Pemerintah menyatakan bahwa ini baru tahap pertama. Dalam enam bulan ke depan, evaluasi lanjutan akan dilakukan untuk kemungkinan pembebasan tambahan dengan pendekatan yang lebih selektif dan berbasis wilayah.
Presiden juga menegaskan bahwa langkah ini tak akan berlaku bagi pelaku kejahatan berat seperti korupsi, terorisme, pelecehan seksual, atau pembunuhan berencana.